Jumat, 17 April 2009 | By: fransisca vina wijaya

Cerita pendek karya Fransisca Vina Wijaya

Kebohongan Putih
Oleh : Fransisca Vina Wijaya
Kelas : X.1
No.absen : 13

Kebohongan Putih

Bila mendengar kata ‘Pretty’ maka yang terlintas di benak kita adalah kesan yang indah dan cantik. Apalagi bagi seorang wanita, tentu sangat menyenangkan dan membanggakan untuk menyandang gelar tersebut. Namun hal ini tidak dirasakan Pretty Valentine Emily, gadis berumur 17 tahun yang duduk di kelas 3 SMA Tunas Bangsa. Dia ingin menangis setiap kali dipanggil dengan sebutan ‘Pretty’, tetapi dia selalu berusaha tegar.
***

Pretty berdiri di depan cermin besar dalam kamar. Dengan seksama, ia pandang tubuhnya yang terlihat dari atas kepala sampai kaki dalam cermin. Ia menyadari bahwa dirinya jauh dari kesempurnaan yang dimiliki Puteri Indonesia. Tinggi tubuhnya hanya 160 cm dengan berat hampir 60 kilogram. Rambutnya hitam sebahu, khas wanita Indonesia. Namun, mata yang tampak biasa dan hidung pesek itu menambah daftar kejelekan pada dirinya. Meski kulitnya mulus, dia tidak terlihat menarik karena kulitnya sawo matang. Mungkin karena pipinya terlalu bulat, ia terlihat seperti campuran Indo-China. Tepatnya campuran kelemahan wanita Indonesia dan juga China. Harus ia akui, kalau dia tidak cantik. Sangat berbeda dengan kakaknya yang pacar seorang aktor itu.
Tambah down perasaannya. Pretty nyaris berkesimpulan tidak dapat punya pacar atau mungkin menikah seumur hidup. Tapi Pretty coba menghibur diri sendiri. Ia selalu ingat kutipan di majalah yang pernah dibacanya “Kecantikan tidak hanya dipandang dari fisik semata. Ada kecantikan yang terpancar dari dalam hati, yang biasa disebut dengan inner beauty.” Dan menurut majalah tersebut, tidak semua pria tertarik kepada wanita karena kecantikan fisik, tetapi ada juga yang tertarik karena inner beauty-nya.
Pintu kamar terbuka. Mama melangkah masuk. Kepala Mama menggeleng-geleng melihat Pretty yang sedang bermalas-malasan di atas ranjangnya. Mama berjalan mendekatinya, lalu duduk di samping Pretty. Hening. Tidak terdengar suara apapun untuk beberapa saat. Sementara mata Pretty membulat menatap mama.
“Kenapa Mama-Papa memberi nama Pretty?” tanya Pretty dengan kerutan berlapis-lapis di dahi lebarnya.
Mama terkejut. Butuh waktu yang cukup lama untuk mama menjawab. “Kami memberi nama Pretty karena kamu cantik dan lucu. Senyummu keliatan manis dan dapat membahagiakan orang di sekelilingmu. Percayalah. Kamu sangat cantik,Pretty sayang.”Mama memeluk Pretty.
Lama merenung setelah mamanya keluar dari kamar, Pretty menemukan sedikit harapan yang membangkitkan semangat hidupnya. Ia berniat memulai hidupnya yang baru. Pretty memutuskan untuk meninggalkan semua kenangan masa lalunya. Dengan nama yang baru “Valentine”, ia siap menjalani hidupnya yang baru.
***
Semua dipersiapkan dengan baik oleh Valentine. Mulai dari hal besar hingga hal terkecil, Ia mengganti semua tentang Pretty menjadi milik Valentine. Ia merasa nyaman dan lebih cocok dengan nama panggilan barunya. Ia siap bersekolah dengan menggenakan seragam bertuliskan “Valentine” di pojok kanan atas.
Valentine berjalan santai menuju kantin yang terletak di belakang sekolah. Kantin memang menjadi tempat yang paling digemari para siswa di sekolah. Tak heran bila tempat itu tidak pernah sepi dari pengunjung. Bahkan untuk duduk pun siswa perlu antri.
Tepat seperti perkiraan Valentine, sejauh mata memandang kursi-kursi telah diduduki, hanya satu yang tersisa di sudut kiri keramaian. Segera mungkin ia menggapai kursi itu. Mulanya ia merasa beruntung, tapi itu hanya berlangsung sementara ketika ia menyadari bahwa yang duduk di depannya adalah Sabina dan Flora.
Sabina dan Flora duduk berdua dan terlihat sangat asik mengobrol, setiap kali obrolan mereka tampaknya makin seru.
"Benar lho, Na. Samuel kemarin mulai sering curi-curi pandang ke arahku. Bukannya ge-er. Dua kali dia tertangkap basah olehku," kata Sabina sambil menelan nasi goreng kesukaannya.
"Itu berarti sebentar lagi jadian. Seperti aku dengan Louise waktu itu. Tidak lama setelah dia suka curi pandang, mulai deh dia ngajak nonton. Mana film horor lagi. Tahu kan aku paling tidak bisa nonton film horor. Mana hantunya seram, filmnya panjang pula," timpal Flora. Tangannya mengaduk-aduk es buah di depannya.
"Ah, itu sih bisa-bisanya Louise saja yang ingin mendapat kesempatan di tengah kesempitan!" sahut Sabina. Ia kemudian melirik Valentine yang sedang menikmati siomai yang tadi dipesannya. "Kamu sendiri gimana? Sudah dapat pacar?"
Valentine cuma tersenyum kecil, matanya menerawang lalu mengedip-ngedip membuat Flora dan Sabina penasaran. "Pokoknya seru dan mengesankan," mulut Valentine terbuka. Ia sendiri tidak tahu bagaimana tiba-tiba bisa mengatakan kalimat itu.
"Seru gimana?" tanya Sabina yang tak menyangka Valentine akan memberi jawaban yang mengejutkan sebab sejak tadi cuma bengong.
Mulut Valentine tak segera terbuka. Dipandanginya Sabina dan Flora bergantian. "Begini.... Mmm, kemarin saat aku ke toko buku beli novel buat kado ultah kakakku. Nah, waktu pulangnya di bis ada cowok cakep. Ya, akhirnya kita kenalan deh."
"Pasti kamu duluan yang ngajak kenalan," tuding Flora.
"Yee, kok nuduh. Yang jelas mulanya karena waktu itu aku mau bayar bus, tapi tidak punya receh. Uang aku lima puluh ribuan semua. Untung cowok di sebelah aku itu mengerti dan mau bayarin aku."
"Namanya siapa?" tanya Sabina dan Flora nyaris berbarengan.
"Namanya.... Mmm Valerie. Ya, Valerie. Perhatikan, dari namanya saja dia sangat cocok jadi cowok aku. Valentine dan Valerie. Cocok, kan?" Mata Valentine berbinar. Dia memuji dirinya sendiri dalam hati karena kali ini bisa membuat dua makhluk di depannya takjub. Soal apakah kebohongan itu akan terbongkar, itu urusan nanti.
Bel istirahat berbunyi. Tiga siswi itu bergegas menuju kelas setelah membayar apa yang mereka makan dan minum selama di kantin. Di sela-sela waktu belajar, pikiran Valentine menerawang memikirkan rencana obrolan soal cowok khayalannya itu. Ya, setidaknya dia tak perlu duduk menjadi pendengar setia di antar a teman-temannya.
Pulang sekolah Valentine bisa bebas dari kedua temannya itu. Flora pulang dengan cowok barunya, Louise. Meski Louise menawarinya untuk satu mobil, tapi Valentine menolak. Apa enaknya jadi kambing congek di antara sepasang kekasih. Sementara itu Sabina masih harus rapat OSIS. Tentu saja cewek itu semangat karena di sanalah dia bisa saling curi-curi pandang dengan Samuel.
***
Valentine melangkah malas ke halte terdekat. Jam pulang sekolah begini butuh perjuangan untuk mendapatkan tempat duduk di atas bis. Makanya Valentine sengaja memilih bus AC, meski mahal asal sampai. Begitu bus yang ditunggunya datang, Valentine segera naik dan mencari tempat duduk di bagian belakang, biar gampang turun.
"Hei, ketemu lagi kita! Baru pulang?"
Valentine terkejut mendengar sapaan di sebelahnya karena ia baru saja duduk. Seorang cowok cakep menatapnya sambil tersenyum. Valentine mencoba mengingat-ingat sosok di sebelahnya. Siapa? Setelah beberapa lama ia memutar-mutar ingatan di kepalanya, tetap saja ia tidak menemuakan jawabannya.
"Lupa, ya? kemarin sore kita kan baru kenalan di bis. Namamu Valentine, dan aku Valerie. Kita kenalan gara-gara kamu tidak punya uang receh untuk bayar bis kemarin. Ingat?"
Valentine menggeser duduknya sedikit menjauh. Valerie? Kemarin? Ah, mana mungkin! Aku kan cuma berbohong mengatakan hal itu kepada Sabina dan Flora pagi tadi. Lalu siapa orang ini sebenarnya? Valentine kelimpungan. Khawatir, penasaran, gelisah, dan bingung bercampur jadi satu di dalam hatinya.
"Terserah kamu kalo memang tidak mengingatku. Cuma kamu perlu tahu, aku tidak bisa tidur semalaman. Habis kamu tidak kasih tahu nomor HPmu. Untung Tuhan kasihan sama aku. Tidak disangka bisa ketemu kamu pulang sekolah begini," Valerie terus nyerocos.
Valentine masih berpikir. Ia tidak percaya kalau hal ini benar terjadi. “Ini hanya halusinasi,” umpatnya dalam hati. Aku tidak bisa diam terus, putusnya dalam hati.
Valentine memutuskan untuk pergi dari tempat duduknya dan berjalan lurus mendekati pintu bis.
“Mau ke mana dik?” tanya supir bus. Kita belum sampai tempat tujuan. Tidak bisa bus berhenti disini.
Valentine tersentak. Bukan karena ditegur supir bus tetapi ia sekarang yakin bahwa ini adalah nyata. Lalu ia kembali ke belakang dan berniat untuk mencari tempat duduk lain namun tidak ada. Maka ia kembali ke tempat duduk semula dan duduk dengan diam.
Valerie berusaha mencairkan suasana sementara perjalanan masih membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai ke tempat tujuan. Ia terus saja berbicara namun tidak sedikit pun tanggapan dilontarkam Valentine. Itu tidak masalah baginya, ia tidak menyerah untuk mengajak ngobrol gadis manis di sebelahnya itu.
"Maaf, kalau boleh tahu, kamu sendiri masih sekolah, kuliah atau...."
Valerie tersenyum bahagia seperti orang yang berhasil memenangkan lotre. Apa yang dinanti-nantinya telah tercapai. Akhirnya, gadis di sebelahnya itu membuka mulutnya.
"Menurut kamu apa? Yang jelas aku sudah tamat SMA. Apa kamu keberatan kalau punya pacar bukan anak SMA?"
"Pacar? Kok ngelantur, sih?"
"Lho, kamu kan kemarin bilang belum punya pacar. Apa aku kurang ganteng untuk ukuranmu?"
Valentine melirik wajah Valerie. Matanya begitu mirip Robert Pattinson. Sama persis dengan cowok yang diidolakan Valentine selama ini. Pantas saja Valentine tadi merasa pernah melihat Valerie. Setidaknya, Valentine memang pernah membayangkan punya pacar yang bertampang macam itu.
"Valentine dan Valerie. Aku rasa itu nama pasangan yang cocok, kan?" kata Valerie lagi.
Valentine mengerutkan dahinya. Ia tersentak. Bagaikan dirinya jatuh dari atas gedung tingkat 29. Kalimat itu sempat diungkapkannya kepada Flora dan Sabina tadi pagi. Ia menghela napas sebentar. Kemudia mengulanginya hingga berkali-kali. Semua ini tidak mungkin hanya kebetulan.
"Rumahmu masih jauh?" Valerie menyentak Valentine.
"Masih dua halte lagi," jawab Valentine setelah melihat keluar jendela. "Nanti naik ojek. Sampailah."
"Boleh aku tahu rumah kamu?"
Valentine buru-buru menggeleng. "Tidak. Jangan sekarang," lanjutnya. Dia tidak berani membayangkan tampang Mamanya kalau sampai melihat ada cowok yang mengantarnya. Masih jelas di benaknya ketika Shasa, kakaknya, dulu waktu SMA pernah diceramahi habis-habisan gara-gara membawa teman cowok ke rumah. Itulah membuat Valentine sampai saat ini ragu untuk pacaran.
***
Sebenarnya Valentine ingin mengatakan kejadian menakjubkan yang dialaminya saat ngobrol di kantin seperti biasanya. Tapi niat itu diurungkannya karena yakin dua temannya malah tidak akan pernah mempercayainya lagi nanti. Lagipula, Valentine sudah bisa menikmati obrolan soal cowok.
Sabina terus membicarakan tentang Samuel yang mulai berani mengantarnya pulang kemarin. Flora memaparkan sifat romantis Louise saat mengajaknya nonton film terbaru yang dibintangi Brad Pitt dan Angelina Jolie. Valentine tentu tidak mau kalah, menceritakan hal yang dialaminya kemarin ditambah sedikit bumbu biar semakin seru.
"Jadi dia anak orang kaya? Ah, masak orang kaya bisa dua kali ketemu lagi naik bus," timpal Sabina.
"Mobilnya sedang di bengkel. Nanti dia rencananya mau menjemputku sepulang sekolah. Sekalian mengajak makan siang," bohong Valentine kian kumat.
"Kalo begitu, aku akan tunggu kamu pulang bersamanya. Penasaran ingin lihat cowokmu itu," kata Sabina.
"Aku juga. Kenalin ya!"
Valentine gelagapan menanggapinya. Sedetik kemudian terdengar kalimat melengking di belakangnya. Mieke dengan gaya yang centil mendekati mereka sambil membagi-bagi undangan.
"Jangan lupa datang hari Sabtu nanti. Syaratnya harus bawa pasangan. Yang tidak punya pacar, boleh bawa adik atau kakak, asal jangan bawa peliharaan saja!" kata Mieke sebelum meninggalkan meja di sudut kantin itu.
Mereka bertiga buru-buru membaca undangan itu. Flora langsung tersenyum karena ia yakin kalo Louise akan mau diajaknya ke pesta, sementara Sabina hanya komat-kamit berharap agar Samuel nanti akan menawarkan diri menjadi pasangannya, sedangkan Valentine pusing tujuh keliling.
"Kamu akan ajak Valerie, kan?" tanya Flora. Benaknya sudah membayangkan betapa serunya acara kencan bersama itu nanti.
"Entahlah. Aku tidak tahu dia suka pesta atau tidak."
"Ya, tinggal kamu tanya saja nanti. Uh, rasanya aku tidak sabar menunggu bel pulang. Gimana sih wajah Valerie-mu itu!" kata Sabina sambil menyuapkan siomai ke mulutnya.
Valentine cuma meringis. Ia malah berharap waktu berjalan lambat agar bisa berpikir alasan apa yang dilontarkannya nanti karena sebenarnya Valerie memang tidak akan pernah datang. Namun sepertinya waktu berjalan lebih cepat dari biasanya. Dan sewaktu bel pulang berbunyi dada Valentine berdetak kian keras. Apalagi Sabina dan Flora terus menguntitnya.
Sepuluh menit pertama Flora dan Sabina masih berharap cemas mendampingi Valentine di pintu gerbang, sepuluh menit berikutnya perut mereka keroncongan dan mulai memaki Valentine.
"Coba kamu telepon dong ke HP-nya."
"Sudah barusan. Tapi tidak aktif."
Sepuluh menit kemudian Sabina dan Flora meninggalkan Valentine karena sudah tak tahan ingin pulang. Cuma Valentine yang tetap tinggal di pintu gerbang karena dia harus pura-pura tetap menunggu Valerie. Dan tiga menit kemudian, sebuah Jazz putih tepat di depan Valentine.
"Valerie!" Valentine memekik kaget ketika melihat sosok yang keluar dari dalam mobil. Dia menengok kanan-kiri, siapa tahu Sabina dan Flora masih ada. Dengan demikian dua temannya bisa segera tahu bahwa ia kini benar-benar sudah punya pasangan.
"Kupikir aku terlambat menjemputmu," kata Valerie sambil mendekati Valentine.
"Menjemputku?"
"Kamu kemarin kan memperbolehkan aku jemput kamu sekarang. Dan jangan bilang, kamu juga lupa bahwa siang ini aku janji mentraktirmu makan!"
"Tidak, aku ingat itu!" timpal Valentine meski bingung. Semuanya harus kujalani, apa adanya! Tekan Valentine. Dia segera masuk ke dalam mobil, duduk di sebelah Valerie. Valentine merasakan saat yang membahagiakan. Inikah yang namanya musim semi? Pantas Flora dan Sabina selalu bersemangat tiap hari. Seandainya saja Mama membolehkanku pacaran, Valentine membatin.
Saat makan di sebuah restoran Jepang, Valentine mengatakan pada Valerie soal undangan pesta ulangtahun Mieke. "Aku sendiri sebenarnya tidak begitu suka pesta. Tapi teman-temanku minta supaya aku datang. Bagaimana menurutmu, Valerie?"
"Yang namanya diundang, ya harus datang. Aku tidak keberatan menemani kamu. Berapa hari lagi sih? Oh, lima hari lagi? Kok ngundangnya mepet begini?"
"Sebenarnya undangan lisannya udah dari dua minggu lalu. Oh, iya makasih kalo memang kamu mau antar aku. Tapi...." Valentine teringat bayangan Mamanya.
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa." Valentine menengok arlojinya. "Sudah kelamaan nih. Pulang yuk."
Valerie mengangguk. Dia mengantar Valentine. Tapi Valentine menolak Valerie mengantar sampai depan rumah. Dia meminta Valerie menghentikan mobilnya di beberapa rumah sebelumnya. Untung Valerie tidak tersinggung dan mau mengerti.
Valentine menemukan Mamanya di teras rumah. Dia merasa beruntung karena tadi Valerie tidak mengantarnya sampai depan rumah. Valentine mendekati Mama, dan memberi kecupan. Tawa kecil Mama membuat Valentine heran.
"Mengapa tidak kamu suruh temanmu mampir dulu?"
"Ah, Mama. Valentine kan naik bus."
"Jangan bohong. Seragammu bersih dan tidak tercium bau rokok serta keringat seperti biasanya. Mukamu cerah dan langkahmu seperti orang yang habis makan kenyang. Begitu, kan?"
Valentine tersipu. Susah memang berbohong pada Mamanya, sekecil apapun.
"Dia pacarmu?"
"Mama bukannya tidak suka kalo Valentine pacaran?"
"Kapan Mama melarang? Belum pernah."
"Secara langsug memang belum. Tapi Valentine masih ingat waktu dulu Mama marahin pacar Mbak Shasa, padahal Mbak Shasa udah besar."
Mama tersenyum memamerkan kempot pipinya. "Jadi karena itu kamu takut pacaran? Mama sebetulnya tidak keberatan bila anak-anak Mama pacaran. Tapi kalian harus ingat waktu juga harus bisa menjaga diri. Waktu itu Mama marah sama Shasa bukan karena dia pacaran, bukan pula karena udah besar atau belum. Tapi apa pantas Shasa pergi dengan seorang cowok sampai larut malam dan tanpa pamit? Pantas tidak?"
Valentine menggeleng. Pikirannya baru terbuka kalau selama ini sebenarnya mamanya tidak melarang ia pacaran. Yang penting asal tahu batas dan aturan.
***
Tidak ada berita yang paling menggembirakan bagi Sabina dan Flora ketika Valentine menyampaikan bahwa ia akan pergi bersama Valerie ke pesta Mieke. Berarti mereka bisa pergi bersama atau lebih tepatnya kencan tanpa mengorbankan perasaan satu orang pun.
"Jadi Valerie tuh kemaren telat jemput kamu? Ih, gara-gara Sabina tidak sabaran sih."
"Yeee, kok aku sih yang disalahin."
"Valerie ada rencana jemput kamu lagi tidak?"
Valentine menggeleng. Takut kejadian kemaren terulang lagi. "Lagian gengsi minta dijemput mulu," jawab Valentine walau sebearnya dia berharap lain. Ya, pulang sekolah Valentine sengaja naik patas AC lagi. Siapa tau bisa ketemu dia lagi, harapnya. Pikirannya menerawang, mengingat Valerie. Baru dua kali ketemu Valentine tetapi ada perasaan lain di hatinya.
***

Minggu siang. Biasanya saat seperti ini Valentine pasti berada di toko buku. Maka Valerie mengayun langkah ke sana. Dari pintu toko buku ia lihat Valentine duduk pada salah satu bangku, membaca buku yang terbuka di depannya dengan serius. Tanpa suara Valerie mengambil tempat di depan. Ditatapnya gadis yang tetap tidak bereaksi dengan kehadirannya itu.
"Hai...."
Valentine mengangkat wajah. Terbersit sebuah senyuman di bibirnya begitu tahu kalau Valerie yang duduk di depannya.
"Serius sekali. Baca apa?"
Valentine mengangkat buku di tangannya. Hem, sebuah novel sastra dari angkatan Balai Pustaka.
"Berniat jadi penulis?"
"Cukup jadi pengarang cerpen remaja saja."
"Honor pengarang itu kecil."
"Uang itu bukan segalanya, kan?"
Valerie mengangguk-anggukan kepalanya.
"Kamu mau baca buku juga?"
“Tidak,” ucap Valerie dengan tenang.
“Jadi? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Valentine sambil mengerutkan keningya.
"Pengen ngobrol sama kamu aja."
Valentine melengak. Jawaban Valerie bagai anak panah yang tepat menuju ulu hatinya. Hingga ia rasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Dadanya berdegup kencang dan semakin lama semakin terasa sesak. Tapi sejujurnya ia suka dengan debaran itu.
"Tentang apa?"
"Tentang apa, ya?" Mengerut kening Valerie. Hingga alis mata yang hitam dan lebat itu saling beradu. "Pokoknya pengen ngobrol saja."
Kedua pipi Valentine merona. Mulutnya terbuka tanpa sadar. Valerie tidak seperti biasanya. Kali ini dia terasa berbeda. Sangat perhatian dan lembut. Sorot matanya terfokus pada satu titik kala menatap Valentine, membuat dengkulnya bergetar dan lemas.
"Kamu tidak mau jalan-jalan?"
"Tidak."
"Gimana kalau kita ngobrol di taman saja? Di sini udaranya terasa pengap. Belum lagi orang merasa terganggu dengan suara kita."
Oh, Tuhan! Apa Kau kirimkan malaikat melalui Valerie hingga dia begitu baik dan manis padaku, bisik Valentine dalam hati.
"Bagaimana?"
"Boleh,” jawab Valentine dengan senyuman mengulas di pipi merahya.
Valentine bangkit duluan. Lalu Valerie menyusul dari belakang. Tapi tiba-tiba Valerie mensejajari langkahnya dan dengan memberanikan diri menggenggam jemari tangan Valentine.

***

Hujan turun lebat saat bel pulang berbunyi. Valentine yang hendak ke halte terpaksa terperangkap di sekolah untuk beberapa saat. Ia menatap HP-nya. Mudah-mudahan nanti dia nelepon, harapnya. Waktu berlalu cepat ketika Valentine mengharapkan keajaiban muncul. Tapi tidak ada telepon dari Valerie maupun kemunculan misteriusnya. Harapannya benar-benar pupus setelah ia berdiri di sudut koridor sekolah sejak 25 menit yang lalu. Ketika itu Valentine mendadak merasa ada tekanan yang hebat di dadanya. Sementara pikirannya dipenuhi oleh wajah Valerie yang sudah membius dirinya sejak awal pertemuan mereka.
Valentine bergegas lari walau hujan membahasi seragammnya. Hati dan pikirannya terus bekerja mencari jawaban atas apa yang ia lakukan sejak tadi. Apa yang sebenarnya ia tunggu? Berhentinya hujan atau sebuah jazz putih?
Pertanyaan itu terus menghantui Valentine. Sementara ia terus berlari dengan cepat, tambah cepat,dan semakin cepat. Sampai akhirnya…Praaak!
Valentine berhenti seketika dan menoleh ke belakang. Bola matanya tertuju pada sebuah HP hitam yang tergeletak di atas jalan. Ia segera memungutnya dan dengan perasaan menyesal melihat HP-nya rusak.

***
Penyakit memang tidak pernah diundang datangnya. Pagi setelah hari yang dilalui Valentine. Tanpa Valerie, Valentine terbaring sakit. Entah apa sebabnya. Malah sampai tiga hari kemudian Valentine masih terbaring sakit. Seperti biasa Flora dan Sabina kembali menjenguk Valentine di siang hari. Sekalian mengabarkan, sebagai tanda solidaritas mereka akan membatalkan rencana ke pesta ulangtahun Mieke nanti malam.
"Aku tidak mungkin ke pesta itu sementara kamu terbaring sakit seperti ini," papar Sabina.
"Jangan bodoh. Pasangan kalian pasti tidak suka ini. Mereka akan menyumpahi penyakitku tambah parah."
Sabina memandang Flora. "Hal ini juga menunjukkan rasa penyesalan kami karena selama ini tidak mengerti perasaan kamu," timpal Flora.
"Apa maksud kalian?" tanya Valentine. Kepalanya yang pusing semakin bingung.
"Tentang Samuel dan Louise. Mestinya kami tahu diri dan tidak cerita tentang mereka di depan kamu. Hingga akhirnya kamu harus berbohong."
"Na, sederhanain kalimat kamu!"
Sabina menghela napas. "Ayolah, Valentine, kamu harus jujur bahwa kamu tidak suka kalo aku sama Flora bicara soal cowok-cowok itu karena kamu tidak punya seorang cowok yang harus kamu bicarain. Lalu kamu ngarang tentang Valerie untuk menutupi kejengkelan kamu itu."
"Pada mulanya memang aku berbohong, kemudian dia muncul, Valerie memang ada."
"Tapi mana dia? Emang kamu pernah bisa menghadirkannya di depan kami berdua? Bahkan sudah tiga hari kamu terbaring sakit, dia tidak muncul-muncul?" desak Sabina disusul Flora. Mereka yakin betul, penyakit yang dialami Valentine pun gara-gara tekanan tidak punya pasangan untuk ke pesta ulang tahun Mieke.
Valentine menggigit bibirnya. Pertanyaan itu juga muncul di benaknya. Mengapa Valerie tidak datang-datang juga? Semakin dipikir kian membuat dirinya tak berdaya.
Valentine menggamit tangan Sabina. Isaknya terdengar pelan. "Mungkin dia sedang ke luar negeri ya, Na," katanya menghibur diri, sekaligus menjaga agar tangisnya tidak jatuh.
“Tidak. Dia ada di depan,” ucap Flora lantang dan membuat mata setiap orang tertuju padanya.
“Dari mana kamu tahu Velarie? Apa kalian pernah bertemu? Apa saja yang kalian bicarakan? Dia datang bersama siapa?”
Pertanyaan itu terlontar dengan sangat cepat. Butuh waktu yang lama untuk mereka mencernanya. Ketiga orang itu bingung dan diam seribu bahasa.
“Sejak semula dia tahu kalau cerita Valentine tentang Valerie cuma isapan jempol belaka. Karena…” ucap Flora pelan.
“Karena?” tanya Valentine dengan antusias.
“Karena…kami berbohong terhadapmu. Tapi kami tidak pernah bermaksud jahat sedikitpun.” Flora berusaha menjelaskan.
“Apa yang kalian tutupi dariku? Jelaskan padaku seluruhnya, aku tidak akan menyalahkan kalian.”
“ Sebelumnya kami berdua ingin meminta maaf padamu. Sejujurnya Valerie adalah teman kami sewaktu SMP dulu. Kami menyuruhnya untuk mendekatimu dengan modal informasi yang kami dapat dari ucapan-ucapanmu.” Flora menjelaskan terbata-bata di tengah keheningan ruangan kecil berdinding putih itu.
Hening. Tidak ada suara yang terdengar di ruangan itu. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Hingga pada akhirnya terdengar isakan tangis seorang gadis yang sedang terbaring di atas ranjang itu.Perasaan bersalah menyelimuti hati dan pikiran Sabina dan Flora.
“ Aku pribadi sungguh ingin meminta maaf kepadamu. Aku mohon kamu jangan membenci kami. Kamu boleh marah sesuka hatimu,” kata Flora sambil menekupkan kedua tangannya di depan dada dengan gaya memohon.
“ Aku juga. Aku benar-benar minta maaf kepadamu. Jujur kami tidak berniat untuk menyakitimu,” susul Sabina dengan melakukan gaya yang sama dengan Flora.
“ Tapi sesungguhnya kalian menyakitiku. Itu yang aku rasakan,” ucap Valentine dengan volume yang keras diikuti isak tangisnya yang semakin menjadi.
Suasana ruang itu hening, tak kalah heningnya dengan kamar mayat yang ada di lantai dasar. Dalam keheningan itu, Valentine memikirkan masalah besar yang seketika menyerang seluruh tubuh, pikiran, dan terutama hatinya. Ia tidak merasakan sakit di kepalanya lagi. Rasa sakit itu telah dikalahkan oleh rasa sakit yang kini menyerang dadanya.
Ketika Valentine melihat dua orang di depannya yang masih bergaya seperti hamba pada Rajanya. Ia menyadari kalau mereka berdua seseungguhnya baik. Nyatanya, sejak ia dirawat di rumah sakit, hanya mereka yang tidak pernah absen menjenguknya bahkan hingga malam.
“ Aku tahu maksud kalian. Aku tidak marah. Aku menghargai kejujuran kalian. Aku juga minta maaf karena aku telah membohongi kalian. Dan aku ingin berterima kasih karena kalian selalu datang menjengukku setiap hari,” jawab Valentine sambil tersenyum pada dua perempuan yang berdiri di depannya seperti patung.
“Terima kasih,” jawab mereka berdua bersama-sama sambil memeluk Valentine yang terdiam beku di atas ranjangnya.
“ Aku sayang kamu, Valentine. Aku ingin jadi teman baikmu,” ucap Flora.
“ Ya, aku sungguh merasa bersalah dan malu denganmu. Tapi semua ini ada hikmahnya, kita bertiga bisa bersahabat jika Valentine mau menerimanya,” susul Sabina.
“ Tentu saja aku mau,” jawab Valentine tegas.
Mereka berpelukan untuk waktu yang cukup lama. Jam di sebelah ranjang kecil itu mengagetkan Sabina dari pelukan itu. Sabina teringat dengan Valerie yang sejak tadi menunggu mereka di luar ruangan.
“ Valerie ada di luar. Apa kamu bersedia bertemu dengannya?” tanya Sabina.
Hening.
“ Tidak. Aku tidak ingin menemuinya,” jawab Valentine sambil menatap jauh pandangan di luar jendela.
“ Apa kamu tidak bersedia memaafkannya? Sesungguhnya ia tidak bersalah.”
“ Aku tahu. Tapi aku tidak bisa memaafkannya. Aku benci dengannya.”
“ Kamu itu gadis yang baik, buktinya kamu bisa memaafkan kami yang jelas-jelas bersalah. Aku yakin bukan kamu yang tidak bisa memaafkannya, tapi hatimu,” ucap Flora sambil menatap lurus kedua mata Valentine.
Valentine tidak tahu. Ia tidak mengerti. Tapi ia tidak menyalahkan perkataan Flora yang kurang lebih melukiskan isi hatinya.
“ Sesungguhnya Raphael menyukaimu sejak pertama kali dia bertemu denganmu. Mungkin kamu tidak menyadarinya, dia menatapmu dalam saat kamu datang ke pesta ulang tahunku tahun lalu. Sepertinya kamu tidak memperhatikannya. Maka dari itu, dia meminta tolong kami untuk mengenalkannya padamu. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa selain dengan cara konyol ini,” kata Sabina.
“Raphael? Ternyata namanya Raphael,” ucapnya dalam hati.
“ Dan nampaknya kami berhasil membuat Raphael masuk dalam kehidupanmu,” sontak Flora yang membuat Valentine menoleh dingin ke arahnya.
“ Aku akui kehadirannya berarti dalam hidupku. Tapi aku tidak mengerti apa yang harus aku lakukan sekarang,” jawab Valentine.
“ Sudahlah. Tidak perlu dipaksakan. Sebaiknya kamu temui dulu Raphael dan izinkan dia untuk menjelaskan semuanya kepadamu. Pada akhirnya apakah kamu bisa menerima atau tidak, kami tidak bisa memaksa,” ucap Sabina.
Pintu ruangan terbuka diiringi hilangnya kedua gadis itu diganti dengan datangnya seorang pria putih berwajah tampan dengan kemeja putih yang dikenakannya. Dia berjalan lurus ke arah ranjang dengan wajah tanpa ekspresi. Langkahnya tidak berhenti namun rasanya sangat jauh untuk mencapai jarak yang kurang dari 3 meter itu.
Valerie tepat berada di depan Valentine. Ia duduk di sampingnya dan menatapnya penuh makna. Sementara Valentine memandang ke arah lain. Kesunyian ini berlangsung kurang lebih 10 menit dan hampir membuat Valentine tertidur.
“ Aku minta maaf. Sungguh minta maaf. Aku benar-benar menyesal telah membohongimu. Aku tidak memaksamu untuk memaafkanku tapi aku tidak ingin dibenci olehmu. Aku bersedia melakukan apapun yang kamu mau agar kamu tidak membeciku,” kata Raphael sambil menundukkan kepalanya.
Valentine tidak membalas ucapannya. Matanya tertutup namun ia mendengar seluruh perkataan Raphael.
Raphael menatap gadis di depannya itu dengan rasa bersalah. Saat ia lihat gadis yang disayangnya itu tertidur, ia mengelus rambutnya dan megucapkan seluruh isi hatinya.
“Aku tahu ini semua kesalahanku.Tapu kini aku sungguh menyesal. Cara ini kupilih agar dapat mengenalmu, Tapi tidak disangka ini semua menyakitimu. Aku terlanjur cinta cinta denganmu. Aku takut kehilanganmu. Aku mohon maafkanlah aku.”
Valentine yang mendengar jelas seluruh perkataan Raphael itu segera membuka mata dan menggapai tangan halus yang berada di sebelah tangannya. Kedua mata beningnya menatap lurus pria yang masih terkejut itu.
“ Kamu sudah bangun? Apa mau aku panggilkan Flora dan Sabina?” tanya Raphael terbata-bata.
“ Tidak. Sejak tadi aku tidak tidur, hanya memejamkan mata,” jawab Valentine sambil tersenyum manis pada pria di depannya.
Raphael terdiam. Wajahnya pucat seperti orang melihat hantu. Jantungnya berdetak seratus kali lebih cepat dari biasanya. Dadanya terasa sesak. Ia kehilangan tenaga untuk berkata-kata.
“ Tanganmu dingin,” ucap Valentine yang memecahkan suasana tegang itu.
Raphael tertawa dan senyum manis terulas di wajah orientalnya. Raphael pun mengeratkan genggaman tangan Valentine hingga ia dapat merasakan kehangatan mengalir ke seluruh tubuhnya. Sementara Valentine membiarkan hal itu terjadi selama bebarapa saat.
“ Tanganku membutuhkan kehangatan dari tanganmu. Terima kasih,” ucap Raphael sambil melepaskan tangannya dari genggaman itu.
“ Tidak apa-apa.”
“ Apa kamu sudah memaafkanku?” tanya Raphael ragu.
Valentine terdiam untuk beberapa saat dan ia dapat merasakan kalau kedua mata itu tidak berhenti memandangnya. Kemudian ia mengangguk perlahan.
Raphael tersenyum lega, ia tidak sabar untuk memeluk gadis di hadapannya itu dan ia melakukannya. Senyumnya semakin lebar saat ia merasakan gadis itu membalas pelukannya.
Beberapa menit berlalu hingga mereka berdua merasakan rasa pegal menghampiri tubuh mereka yang berada dalam posisi tidak enak itu. Pelukan pun berakhir.
Raphael pergi keluar ruangan meninggalkan Valentine yang terdiam di atas ranjangnya. Namun kurang dari satu menit, pintu itu terbuka diiringi kedatangan pria yang membawa sebuket mawar merah.
Valentine tersenyum dan pipinya merona saat menerima bunga kesukaannya dari pria yang membuatnya selalu susah tidur setiap malam.
Raphael mengulurakan tangannya dan berkata, “Salam kenal, nama aku Raphael. Aku berharap pertemuan pertama kita ini menjadi awal yang baik bagi hubungan kita.”
***
Setelah hampir tiga bulan melakukan pendekatan, akhirnya sore tadi Raphael menyatakan cinta pada Valentine.
"Mungkin bagimu terlalu cepat kalau aku mengatakan sangat menyukaimu. Tapi dua minggu mengenalmu lebih dekat, aku sudah tahu kalau ternyata kau sangat istimewa. Bersamamu, aku merasa damai dan bahagia," kata Valerie seraya meremas jemari tangan Valentine.
"Maukah kau menjadi pacarku?" lanjutnya kemudian dengan menatap mata Valentine dengan mesra.
Coba bayangkan, perempuan mana yang tidak runtuh hatinya dipuja sedemikian rupa oleh cowok ganteng. Dan perempuan mana yang tidak pasrah saja ditatap sedemikian mesra oleh cowok sekelas bintang film.
Valentine mengangguk malu-malu. Dan kursi di taman kota menjadi saksi betapa bahagianya mereka sore ini.
Sore itu akhirnya dihabiskan mereka berdua dengan acara jalan santai mengelilingi taman kota berkali-kali hingga bulan pun tersenyum pada mereka. Gelapnya malam dikalahkan oleh terangnya bintang-bintang, bulan, dan wajah pasangan baru yang menandingi kilaunya berlian.

Tamat